12 June 2025
Coaching Clinic UKM Musik10 June 2025
Webinar: Overview of Outcome-Based Education (OBE)Sedikti tentang Pebelajar Generasi Z Dan Pembelajarnya
Akhir-akhir ini banyak diskursus mengenai klasifikasi/macam generasi, dari generasi Baby Boomers, Generasi X, Generasi Y, dan Generasi Z. Mereka terlahir dalam era/kurun waktu yang berlainan, yang pada gilirannya memerlukan pendekatan yang berbeda dalam proses belajar dan mengajarnya.
Generasi Z lahir antara tahun 1995-2010. Kurun waktu kelahiran mereka membawa dampak yang berlainan jika disbanding dengan dampak yang diterima genereasi sebelumnya. Baby Boomers (1945- 1964), Generasi X (1965-1980), dan Generasi Y (1981-1995) tentu mendpati dampak kehidupan dan cara hidup yang berbeda-beda pula. Masing-masing kelompok mungkin berbeda dalam mempertimbangkan tata nilai, tujuan hidup/cita-cita, bahkan tata interaksi. Setiap generasi baru membawa karakteristik atau sifat-sifat yang mungkin lebih longgar disbanding generasi lainnya. Pembeda ini membawa mereka kedalam satu kelompok yang kohesif, kental dan menyatu dengan karakteristik umum yang padu. Karakteristik tersebut mungkin refleksi dari kondisi kondisi ekonomi, norma-norma budaya dan adat istiadat, kemajuan teknologi, peristiwa dunia, semua hal yang berkontribusi dalam membentuk pikiran dan pandangan setiap generasi.
Tentu, Generasi baru (Z) maha/siswa tidak sama dengan generasi sebelumnya. Mereka merespon secara berbeda terhadap proses belajar dan instruksi-instruksi kelas disbanding dengan generasi sebelumnya. Itulah sebabnya terlalu banyak seminar untuk disebut bahwa pada kesimpulannya sistem pembelajaran/sekolah harus memberikan respon yang berbeda yang sesuai dengan karakteristik generasi ini. Misalnya, sekolah dapat mengubah cara mengajar untuk menyelaraskan dengan nilai-nilai dan gaya peserta didik baru yang sering disebut sebagai Generasi Z ini. Jadi, Generasi Z memerlukan Metode Z dalam proses belajar. Pengajaran, isi kursus belajar, dan tujuan harus relevan dan menarik untuk generasi ini. Generasi Z tidak bukan hanya semata peserta didik yang berbeda, tetapi mereka juga memiliki nilai dan tujuan yang berbeda pula. Dengan demikian, metode pengajaran tradisional mungkin tidak lagi dipandang efektif.
Generasi Z kini/hari ini adalah generasi utama pada pendidikan tinggi. Dari perspektif ini, perguruan tinggi perlu menggali pergeseran tantangan metodogis dalam proses belajar mengajar. Mungkin, sekolah/perguruan tinggi perlu segere mengubah pendekatan atau hal-hal metodologis untuk memenuhi kebutuhan belajar yang karakteristik generasi ini.
Gen zers yang saat ini berumur antara tujuh tahun dua puluh dua tahun membawa karakter yang tentunya berbeda. Mereka disebut “Digital Natives,” “Internet Generation (igen),” dan “Screensters” karena mereka merupakan generasi yang lahir di lingkungan yang tersambung 24 jam dengan Internet dan mereka sangat tech-savvy. Mereka menggunakan berbagai bentuk teknologi untuk memperlancar kerja/kegiatan mereka dalam berkehidupan sehari-hari (ekonomi, social, budaya, edukasi, dll). Tidak asing lagi, kita menemui mereka tengah menggunakan berbagai perangkat elektronik secara bersamaan dan/atau beralih antara ponsel pintar, iPads, tablet,laptop, dll. Banyak dari mereka menggunakan smartphone untuk menggantikan fungsi jam tangan, menggantikan fungsi kompas, menandai waktu beribadah, memfoto, dlsb., gadget for all needs. Ada sumber yang memperkirakan bahwa lebih dari 52 persen dari hari-hari mereka dihabiskan untuk layar sentuh. Generasi ini senang karena dapat memperoleh informasi atau jawaban atas pertanyaan apapun dengan segera dari berbagai sumber yang tersedia di Internet (misalnya Wikipedia, video YouTube, blog, dll), walaupuan terkadang sumber tersebut kurang dapat dipercaya. Mereka juga menggunakan teknnologi yang langsung menghubungkannya dengan orang lain secara online di semua lini geografis, setiap jam, setiap saat melalui media sosial seperti Facebook, Snapchat, Instagram, Vine, Twitter, WA, IG, dll
Dalam dunia pendidikan (tinggi), Generasi ini memajukan satu tantangan serius dalam proses pembelajaran mereka. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi pendidikan tinggi adalah ketika mahasiswa dengan pengetahuan digital tinggi tersebut harus diajar oleh pengajar/dosen yang masih menggunakan teknologi yang (sangat) terbatas. Mereka bahkan sering harus mengkalibrasi ke-tech-savvy-an mereka.
Pendekatan tradisional kuliah didaktik dan ujian tertulis (printed) bukan merupakan medium yang cukup disukai generasi ini. Sebetulnya, dosen/pengajar harus siap dan dilengkapi dengan ilmu dan ketrampilan bahkan pengalaman menggunakan gadget yang cukup untuk dapat masuk dalam domain metodolgis pemebelajaran era Generasi Z ini. Mereka/kita harus siap untuk dihadapkan kepada cara-cara praktis menggunakan berbagai-bagai perangkat lunak, perangkat keras, alat-alat digital, platform teknologis, dan media sosial.
Tentu mereka/kita (pengajar) membutuhkan pengembangan profesional untuk mendukung pergerakan metodologis dari ranah pendekatan tradisional kepada pendekatan yang lebih berkarakter modern transformasional. Ketrampilan tersebut sangat diperlukan untuk level-up dengan kebutuhan belajar Generasi Z ini diantaranya:
Genesari Z mungkin tidak sepaham dengan sumber instruksional pasif tradisional, seperti buku teks yang dicetak; mereka nampaknya juga tidak memiliki kesabaran yang cukup panjang lebar untuk mendengarkan penjelasan verbal satu konsep atau teori.
Melalui adaptasi teknologi yang inovatif saat ini, siswa dapat mendapatkan pengalaman lintas budaya yang sangat kaya (lintas benua), melalui kolaborasi virtual intensif dan ekstensif. Hal tersebut tentu sulit didapatkan dari kuliah yang berpendekatan tradisional. Teknologi, terutama untuk Generasi Z ini, mestinya bisa digunakan untuk memajukan proses dan hasil pembelajaran.
Jadi, untuk menghasilkan perubahan yang meng-cater karakteristik unik Generasi Z ini serta preferensi belajarnya, dosen/pengajar harus beradaptasi dengan metode baru pengajaran. Pelatihan yang memadai tentang penggunaan perangkat lunak baru, program baru, dan sedikit pengetahuan hardware baru sangat penting. Sama seperti gelombang baru generasi ini, dosen/pengajarpun harus menjalankan pembaruan metodologis, bukan dari membaca secara manual atau mendengar seseorang berbicara mengenai tekonolgi, tapi dengan melakukan kerja berteknologi, melakukan penyesuaian-penyesuaian teknologis, dan akhirnya mengaplikasikannya secara penuh.
Hmmm….tapi, bagaimana jika mereka (pembelajar) ingin mempertahankan metode “baik namun lama” yang mereka rasa telah diakrabinya dan bahkan masuk dalam daftar teaching/learning principles mereka? Mungkinkah perubahan itu beresonansi dan dikapitalisasi di antara pembelajar "lama"? Lalu?
AD/17